Realita Pekerja Perempuan di Sektor Transportasi Indonesia
Mariola Sophie Yansverio
Dalam peringatan Hari Kartini bulan April 2019, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan bahwa peran perempuan dalam sektor transportasi harus ditingkatkan. Memang betul, jumlah pekerja perempuan di sektor transportasi masih minim, yaitu hanya 5% dari jumlah total pekerja di sektor tersebut (Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, 2019). Namun, perlu diperhatikan alasan rendahnya angka pekerja perempuan di sektor tersebut adalah karena hak-hak pekerja – terutama perempuan – yang masih jauh dari kata layak. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor transportasi merupakan sektor pekerjaan yang padat karya (labor intensive) dimana para pekerja harus bekerja di medan yang sangat berat. Di atas itu, tanpa adanya kebijakan pemerintah yang inklusif, maka pekerja perempuan berada di posisi yang rentan, terutama di hadapan diskriminasi, eksploitasi, dan ketidakadilan.
Pada serial diskusi daring “Ngobras” ke-22 yang diadakan oleh Perempuan Mahardika pada 6 Februari 2021, dua perempuan menceritakan pengalaman dan realita yang harus mereka hadapi sebagai pekerja di bidang transportasi. Narasumber pertama adalah Putri, seorang pengemudi mobil box antar-kota dan mantan pengemudi angkutan kota, yang terpaksa berhenti sekolah karena kesulitan ekonomi dan akhirnya menjadi pengemudi untuk bertahan hidup. Kemudian, narasumber kedua adalah Mbak Apri yang telah berpuluh-puluh tahun menjadi pengemudi truk, namun saat ini beliau sibuk sebagai pengurus serikat pekerja pengemudi angkutan independen di Jawa Tengah. Pernyataan dan cerita mereka merupakan testimoni realita kehidupan mereka sebagai pekerja perempuan di sektor transportasi dan perjuangan yang harus mereka hadapi sehari-hari, seperti upah yang tidak mencukupi, sistem kerja yang rentan dan tidak menentu, jam kerja yang panjang, stigmatisasi gender, dan tidak adanya hak cuti menstruasi atau hamil bagi mereka.
Kanal YouTube Asumsi, serial Kerah Biru, juga pernah membuat video yang meliput kehidupan seorang pengemudi angkutan kota perempuan di Jakarta. Keluhan pengemudi perempuan dalam video itu juga senada dengan Putri dan Mbak Apri, mulai dari penghasilan rendah, medan kerja yang keras, hingga mikro-agresi berbasis gender. Berdasarkan testimoni-testimoni tersebut, dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja yang layak dan inklusif masih merupakan mimpi yang jauh bagi pengemudi perempuan, terutama yang berstatus pekerja informal. Hanya karena jumlah perempuan di sektor transportasi masih sedikit, bukan berarti diskusi tentang nasib kerja mereka tidak relevan. Sebaliknya, karena kondisi yang menempatkan mereka sebagai minoritas, maka peran pemerintah untuk menjamin hak-hak mereka akan semakin krusial mengingat rentannya posisi mereka.
Dalam hal ini kita perlu merefleksikan esensi dari kerja layak bagi pekerja, yaitu meliputi hak-hak pekerja yang terpenuhi, upah yang cukup, jam kerja yang wajar, dan kebebasan dari segala bentuk eksploitasi. Sayangnya, hal ini belum dapat dirasakan oleh perempuan yang bekerja di bidang transportasi. Berdasarkan testimoni Mbak Apri, sebagai pengemudi transportasi angkutan barang, mereka tidak memiliki jam kerja tetap dan bahkan bisa sampai 24 jam. Sebagai contoh, apabila hari ini mereka berangkat untuk mengantar barang dengan target sampai pada hari berikutnya, maka jam kerja mereka adalah mulai dari berangkat hingga barang tersebut dibongkar di destinasi. Berdasarkan pengalamannya, ia pernah menyetir sekitar 10 jam berturut-turut, hanya berhenti 1 jam untuk istirahat. Kondisi kerja seperti ini jauh dari kata ideal.
Selain jam kerja yang panjang dan medan yang berat, para pengemudi perempuan ini juga dibebani dengan realita upah yang rendah. Menurut testimoni narasumber dalam video YouTube Asumsi, penghasilan narasumber dalam satu hari hanya sebatas 70 ribu, yang masih harus disetorkan ke bos, sehingga menyisakan 10-20 ribu untuk dibawa pulang. Ketiga narasumber juga menjelaskan bahwa biaya operasional kendaraan ditanggung oleh mereka, seperti bensin atau kerusakan pada kendaraan. Menurut pernyataan Mbak Apri, pengemudi truk dibayar berdasarkan muatan barangnya dan hanya akan dibayar setelah barang dibongkar di destinasi. Maka dari itu, tidak heran apabila banyak pengemudi truk yang memuat beban truk lebih dari regulasi sebagai upaya mereka untuk bertahan hidup.
Upah yang kecil dan beban operasional yang harus ditanggung membuat para pengemudi belum tentu bisa membayar kernet karena itu berarti biaya lebih. Masalahnya, bagi pengemudi truk perempuan, bekerja tanpa kernet menimbulkan risiko yang cukup besar karena terdapat banyak pekerjaan yang memerlukan bantuan fisik laki-laki, seperti saat ban kempes secara tiba-tiba sehingga harus menggantinya di tengah perjalanan. Secara tidak langsung, pemasukan pengemudi perempuan akan lebih sedikit karena mereka harus menggunakan jasa kernet dan membagi penghasilan mereka.
Pekerjaan di sektor transportasi masih jauh dari kata inklusif gender. Sedikitnya jumlah perempuan menandakan lapangan pekerjaan ini masih sangat didominasi laki-laki. Namun demikian, seharusnya hak-hak pekerja perempuan tetap dipenuhi. Kebijakan-kebijakan yang inklusif gender perlu diimplementasikan untuk menangani permasalahan tersebut. Sayangnya, mengingat ini merupakan pekerja informal dengan struktur pekerjaan yang rentan dan tidak tetap, banyak dari pengemudi perempuan yang tidak mendapatkan hak cuti atau hak melahirkan meskipun hak tersebut dilindungi secara hukum. Apabila mereka tidak mampu bekerja, maka mereka tidak akan digaji dan diharuskan untuk mencari pengemudi pengganti. Putri juga mengatakan bahwa ketika ingin mengurus SIM untuk menjadi pengemudi mobil boks ekspedisi, petugas di kantor polisi justru bertanya “Memang perempuan mau nyetir apa sih?” dan prosesnya dipersulit. Mikro-agresi dan stigmatisasi gender dapat ditemukan dalam cerita testimoni semua narasumber tersebut, tetapi mereka sudah tidak memperdulikannya lagi. Mereka harus melakukan apa yang mereka lakukan untuk tetap dapat menyambung hidup karena bagi mereka, mereka harus berjuang sendiri, toh pemerintah tidak akan memperdulikan.
Ketika ditanya mengenai harapan mereka untuk kedepannya, Mbak Apri mengatakan bahwa ia berharap agar pemerintah lebih peduli terhadap nasib pekerja di sektor transportasi dengan membuat regulasi tentang pesangon dan menaikkan upah yang lebih berpihak pada pekerja. Jawaban dari dua narasumber lain juga tidak jauh dari permasalahan memenuhi kebutuhan hidup. Mereka hanya ingin bertahan hidup, sayangnya untuk hidup saja mereka harus mengalami eksploitasi, diskriminasi, dan ketidakadilan setiap harinya.
Sebagai refleksi, testimoni-testimoni mereka membuktikan bahwa perbudakan modern masih marak terjadi di Indonesia. Testimoni-testimoni perempuan-perempuan tersebut membuktikan bahwa struktur-struktur yang melanggengkan realita kerja yang tidak layak dan tidak inklusif masih marak terjadi di Indonesia. Mengingat rentannya posisi mereka ditambah dengan status perempuan-perempuan tersebut sebagai komunitas marjinal, penting sekali bagi kita untuk ikut serta mengadvokasikan pemenuhan hak-hak mereka.
References
Asumsi. (2020). Kerah Biru: Kerasnya Jalanan Jakarta Bagi Supir Angkot Wanita [YouTube Video]. Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=uCQGeBVItIQ&t=85s
Kementrian Perhubungan Republik Indonesia. (2019). Peranan Perempuan di Sektor Transportasi Harus Ditingkatkan. Retrieved February 19, 2021, from dephub.go.id website: http://dephub.go.id/post/read/peranan-perempuan-di-sektor-transportasi-harus-ditingkatkan
Perempuan Mahardika. (2021). NGOBRAS 22: Pekerja Perempuan Sektor Transportasi – Sudahkah Hak Mereka Dipenuhi? Retrieved February 19, 2021, from www.facebook.com website: https://www.facebook.com/mahardhika.org/videos/1154896914965570
-
adminhttps://emancipate.id/author/admin/
-
adminhttps://emancipate.id/author/admin/
-
adminhttps://emancipate.id/author/admin/
-
adminhttps://emancipate.id/author/admin/