Author: Baety Fitri Utami
Editor: Nadya Azalia
Data profil anak pada 2019 menunjukan bahwa terdapat 10 provinsi di Indonesia yang memiliki angka pekerja anak di atas rata-rata nasional, diantaranya Sulawesi Barat sejumlah 16,76%, Sulawesi Tenggara 15,28%, Papua 14,46%, Nusa Tenggara Timur 13,33%, Sumatera Utara 13,38%, Sulawesi Tengah 12,74%, Sulawesi Selatan 12,45%, Bali 11,57%, Nusa Tenggara Barat 11%, dan Gorontalo 10,97%. Provinsi-provinsi ini juga memiliki jumlah anak putus sekolah yang cukup besar. Hal tersebut menunjukan bahwa anak yang putus sekolah sangat rentan dipekerjakan. Sebaliknya, anak yang dipekerjakan juga rentan mengalami putus sekolah sebagaimana disampaikan Valentina Gintings selaku Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Kementerian PPPA.[1]
Hingga tahun 2019, program PPA-PKH[2] dari Kementerian Ketenagakerjaan telah menarik sebanyak 134.456 pekerja anak dari rumah tangga sangat miskin dan putus sekolah untuk dikembalikan ke satuan pendidikan melalui pemberian pendampingan di shelter. Sedangkan pada tahun 2020, Kemenaker menargetkan penarikan sebanyak 9000 anak. Pada kesempatan yang sama, National Programme Officer International Labour Organization (ILO), Irham Saifuddin menuturkan bahwa laporan singkat “Covid-19 and child labour : A time of crisis, a time to act” mengungkapkan bahwa dunia telah mencapai keberhasilan bersama dengan berkurangnya pekerja anak sebanyak 94 juta lebih selama 2 dekade terakhir. Tetapi, adanya pandemi Covid-19 tidak hanya membalikkan keberhasilan yang dicapai selama ini, namun menyebabkan jutaan anak terpapar risiko kembali dipekerjakan dalam kondisi pandemi yang membahayakan diri anak.
Pandemi COVID-19 menjadi tantangan besar bagi berbagai pihak yang berdampak pada terjadinya gangguan bisnis dalam skala besar dan krisis sosial-ekonomi. Tidak hanya pemerintah dan pelaku usaha, pekerja merupakan salah satu pihak yang merasakan akibat dari adanya pandemi COVID-19. Kerentanan pekerja terhadap risiko yang terkait dengan kurangnya pekerjaan yang layak, hilangnya pendapatan, praktik perburuhan yang eksploitatif, dan kemiskinan telah bertambah parah.[3] Berbagai permasalahan yang timbul dari meluasnya pandemi COVID-19 ini tentunya mempengaruhi peningkatan kemiskinan rumah tangga secara signifikan. Krisis ini membuat anak-anak berisiko kehilangan hak-hak dasar mereka dan akses ke layanan esensial.[4] Tidak hanya itu, kemiskinan rumah tangga juga menjadi faktor utama tingginya angka pekerja anak. Efek domino pandemi pada meroketnya jumlah pekerja anak tentu tidak dapat dipungkiri, mengingat rumah tangga yang mengalami kemiskinan akan menggunakan segala upaya demi memenuhi kebutuhan agar dapat bertahan hidup. Studi menunjukan bahwa kenaikan satu persen dalam kemiskinan akan menyebabkan 0,7 persen peningkatan pekerja anak di negara-negara tertentu. Widjajanti Isdijoso selaku Direktur Penelitian dan Penjangkauan SMERU menyatakan bahwa apabila proyeksi kemiskinan meningkat menjadi 12,4 persen pada 2020 atau dalam hal ini setara dengan 33,4 juta orang, maka sekitar 11 juta anak dari rumah tangga miskin rentan menjadi pekerja anak.[5] Hal ini akan menyebabkan persoalan yang serius, mengingat pada tahun 2030, sebanyak 70% anak generasi penerus ditargetkan menjadi generasi produktif yang bekerja di sektor sesuai minat masing-masing, sedangkan fakta yang ada justru menunjukkan bahwa masih banyak anak yang menjadi korban kekerasan, eksploitasi dan perdagangan anak.
Upaya pencegahan dan penghapusan pekerja anak tentunya harus dilakukan dengan berbagai langkah dan melibatkan banyak pihak. Kementerian terkait dalam menjalankan programnya dapat terus menggandeng sejumlah pihak seperti organisasi non-pemerintah khususnya pemerhati anak. Selain itu, hukum sebab-akibat juga melatarbelakangi permasalahan ini. Penghapusan pekerja anak tentunya akan menjadi selaras dengan upaya pencegahan kemiskinan rumah tangga yaitu dengan peningkatan kesejahteraan pekerja, akses lowongan kerja, pekerjaan yang layak dan ramah rumah tangga. Dalam hal ini tidak hanya Pemerintah, tetapi juga pelaku usaha serta para pemangku kepentingan di kalangan masyarakat sipil juga harus ikut andil dalam upaya pencegahan eksploitasi pekerja anak.
[1] KemenPPPA : Sebelas juta anak berpotensi menjadi pekerja anak di masa pandemi, pentingnyasinergi melakukan pencegahan.
[2] PPA-PKH merupakan kegiatan Pengurangan Pekerja Anak dalam rangka mendukung Program Keluarga Harapan oleh Kementerian Ketenagakerjaan sebagai program nasional yang telat tertuang dalam Rencana Panjang Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
[3] UNICEF dan Save the Children memperkirakan bahwa 86 juta lebih anak berisiko memasuki kemiskinan rumah tangga pada akhir tahun 202 jika tindkan tidak segera diambil. (UNICEF, COVID-19: Jumlah anak yang hidup dalam kemiskinan rumah tangga melonjak hingga 86 juta pada akhir tahun), 27 Mei 2020, https://www.unicef.org/press-releases/covid-19-number-children-living-household-poverty-soar-86-million-end-year)
[4] The Alliance for Child Protection in Humanitarian Action, Technical Note: Protection of Children during the Coronavirus Pandemic, Version 1, Maret 2020, https://www.unicef.org/media/65991/file/Technical%20note:%20protection%20of%children%20during%20the%20coronavirus%20disease%202019%20(COVID-19)%20PANDEMIC.PDF
[5] International Labour Organization: Indonesia perkuat upaya memerangi praktik pekerja anak sebagai dampak pandemi, 12 Juni 2020, https://www.ilo.org/Jakarta/info/public/pr/WCMS_748308/lang—en/index.htm
-
adminhttps://emancipate.id/author/admin/
-
adminhttps://emancipate.id/author/admin/
-
adminhttps://emancipate.id/author/admin/
-
adminhttps://emancipate.id/author/admin/