Peliknya Dunia Magang di Indonesia

Mariola Sophie Yansverio

            Akhir-akhir ini di Twitter diskursus mengenai praktik magang di Indonesia sedang menjadi isu yang mendapat banyak perhatian. Pemantik diskursus ini dimulai dari cuitan seseorang yang menceritakan pengalaman magangnya yang eksploitatif di sebuah perusahaan bernama Campuspedia. Beberapa bentuk eksploitasi yang dialami adalah tuntutan kerja yang setara dengan karyawan penuh waktu, absennya pelatihan atau mentoring, upah yang sangat minim yaitu sebesar seratus ribu dan apabila ingin berhenti magang harus membayar biaya sebesar lima kali lipat remunerasi, dan pemotongan remunerasi apabila performa kurang memuaskan yang tidak disebutkan di dalam kontrak. Sayangya, pengalaman individu ini bukanlah hal yang unik, tetapi praktek magang yang eksploitatif ini sering sekali terjadi dan bahkan sudah dinormaliassi. Oleh karena itu, artikel ini ingin membahas tentang dasar hukum praktik magang di Indonesia dan lemahnya implementasi peraturan tersebut.

Pemaknaan program “magang” yang tidak sesuai esensinya

            Pertama, menurut UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, magang didefinisikan sebagai “bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu” (Kurnia, 2020). Aturan magang di Indonesia diatur dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 pasal 21 hingga 29 dan tidak diubah oleh Omnibus Law (Cahyadi, 2021). Berdasarkan definisi dasar hukum tersebut, magang sejatinya merupakan proses pembelajaran, bukan sebuah kesempatan bagi perusahaan untuk mendapatkan buruh murah. Bahkan di dalam UU perusahaan dilarang memungut biaya dari karyawan. Sayangnya inisiatif Kampus Merdeka secara tidak langsung menyalahi peraturan ini karena pengalaman magang mahasiswa di program MBKM akan dikonversikan menjadi bagian dari SKS. Maka dari itu, mahasiswa membayar UKT untuk menjadi karyawan magang.

Pengawasan program magang yang minim

            Hak-hak karyawan magang juga dilindungi di UU Ketenagakerjaan dan Permenaker No. 6 Tahun 2020, tepatnya di pasal 22 ayat 2. Hak-hak tersebut meliputi : 1) memperoleh bimbingan dari instruktur, 2) memperoleh pemenuhan hak sesuai perjanjian, 3) fasilitas keselamatan kerja terjamin, 4) memperoleh uang saku, 5) mendapatkan program jaminan sosial, dan 6) mendapat sertifikat (Kurnia, 2020). Berdasarkan peraturan tersebut seharusnya praktik magang yang tidak dibayar (unpaid internship) merupakan sebuah pelanggaran hukum. Namun, praktik magang tanpa dibayar ini sudah sangat dinormalisasi dan banyak sekali perusahaan yang tidak mendapatkan konsekuensi atas penindasan yang mereka lakukan. Selain itu, absennya aturan pemerintah tentang menetapkan upah minimum karyawan magang juga merupakan jalan keluar atau loophole bagi perusahaan untuk melakukan eksploitasi.

Kampus Merdeka dan praktik magang yang tidak memerdekakan

            Tujuan utama magang adalah proses pembelajaran dimana peserta dapat menambah skill mereka atau memperluas pengetahuan mereka. Sayangnya, sering sekali praktik magang dijadikan dalih bagi perusahaan untuk mempekerjakan buruh murah. Pada akhirnya, tidak heran apabila Trade Union Rights Center (TURC) menyebut praktik magang berpotensi sebagai jenis baru outsourcing (Ibrahim, 2019). Keberpihakan pemerintah terhadap karyawan magang yang dalam posisi rentan ini juga abu-abu. Bahkan praktik magang diintegrasikan dalam kegiatan akademik yaitu melalui program Kampus Merdeka. Meski MBKM dirayakan sebagai inisiatif baik pemerintah untuk mempermudah jalur mahasiswa ke dalam dunia kerja, sudah sepatutnya kita bersikap kritis terhadap praktik ini. Permasalahannya adalah program magang di MBKM membuat universitas bukan lagi sebagai institusi pendidikan tetapi sebagai pemasok atau makelar buruh murah. Bahkan, magang-magang yang ditawarkan oleh MBKM juga eksploitatif, terbukti dari petisi yang beredar bahwa sebanyak 5.500 peserta magang kampus merdeka belum mendapat hak uang saku mereka (change.org, 2021).

            Maka dari itu, meski praktik magang telah diatur di UU Ketenagakerjaan dan hak dan kewajiban karyawan magan telah dilindungi hukum, penindasan dan eksploitasi tetap dan kian merajalela. Keberpihakan negara dalam menghadapi penindasan ini juga terlihat jelas, negara bersikap acuh tak acuh dan bahkan terus mereproduksi sistem yang eksploitatif ini. Maka dari itu diperlukan implementasi yang lebih baik dari pemerintah dan sebagai sesama kaum muda (utamanya mahasiswa) untuk berserikat dan bergerak melawan penindasan, opresi, dan terus mengadvokasikan suara-suara marjinal.

Referensi

Cahyadi, R. K. (2021, April 30). Aturan Karyawan Magang Menurut Undang-Undang. Retrieved October 29, 2021, from Blog Gadjian website: https://www.gadjian.com/blog/2021/04/30/aturan-karyawan-magang-menurut-undang-undang/

Change.org. (2021). Sign the Petition. Retrieved October 29, 2021, from Change.org website: https://www.change.org/p/kementerian-pendidikan-kebudayaan-riset-dan-teknologi-tolong-segera-realisasikan-beasiswa-peserta-mbkm-msib-angkatan-ke-1?utm_source=share_petition&utm_medium=custom_url&recruited_by_id=60e70390-2dd1-11ec-9ca2-c12f3769b057

Ibrahim, R. (2019). Apakah Anak Magang Harus Dibayar? Retrieved October 29, 2021, from Asumsi website: https://asumsi.co/post/3845/apakah-anak-magang-harus-dibayar

Kurnia, A., & Tobing, L. (2020). Jangka Waktu dan Hak-hak Peserta Pemagangan – Klinik Hukumonline. Retrieved October 29, 2021, from hukumonline.com website: https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt50c9bc71e2237/magang/