Inklusi digital untuk pemberdayaan penyandang disabilitas di pasar tenaga kerja

Electronic accessibility abstract concept vector illustration. Accessibility to websites, electronic device for disabled people, communication technology, adjustable web pages abstract metaphor.

Berdasarkan penelitian WHO pada tahun 2011, 15% populasi dunia mengalami kesulitan untuk mendapatkan edukasi, bertransisi kepada lapangan kerja, dan mampu mandiri secara ekonomi (World Health Organization, 2011). Penyandang disabilitas, baik secara fisik maupun intelektual, setidaknya memiliki satu di antara ciri tersebut. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2020, prevalensi penyandang disabilitas usia produktif di Indonesia adalah sebanyak 17,74% (Koneksi Indonesia Inklusif, 2021). Dalam data tersebut, juga dikatakan bahwa penyandang disabilitas usia produktif yang masuk ke dalam angkatan kerja hanyalah 7,8 juta, sedangkan partisipasi angkatan kerja hanyalah 44% (Koneksi Indonesia Inklusif, 2021). Selain karena keterbatasan yang dimiliki penyandang disabilitas, marginalisasi dan ketidakadilan juga membatasi mereka untuk memenuhi hal tersebut secara mandiri.

Inklusivitas di Indonesia bagi penyandang disabilitas masih menemukan berbagai tantangan. Belum ada lembaga yang berhasil mengupayakan inklusivitas yang melibatkan penyandang disabilitas. Kurangnya upaya untuk inklusi penyandang disabilitas tidak terlepas dari stigma negatif yang menempel kepada penyandang disabilitas (Hastuti et al., 2020). Bahkan dalam lingkungan keluarga, disabilitas seringkali dianggap sebagai aib sehingga penyandang disabilitas seringkali tidak memiliki akses untuk berinteraksi dengan dunia luar. Keterbatasan yang dimiliki penyandang disabilitas juga menciptakan pesimisme terhadap kemampuan disabilitas untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas.

Pasar kerja masih mengeksklusi berbagai kelompok, khususnya bagi penyandang disabilitas. Seperti laporan ILO, partisipasi dari penyandang disabilitas dalam pasar tenaga kerja di Indonesia masih terbilang rendah (ILO, 2017). Hal ini diakibatkan oleh berbagai diskriminasi yang diterima oleh pekerja penyandang disabilitas, baik terbatasnya akses terhadap pekerjaan hingga kurangnya kesadaran perusahaan untuk menyediakan akomodasi yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pekerja penyandang disabilitas seringkali bekerja pada sektor informal dengan pendapatan yang rendah (Halimatussadiah, Agriva, & Nuryakin, 2013).

Selain itu, rendahnya angka partisipasi penyandang disabilitas berkaitan dengan supply dan demand pasar tenaga kerja. Pengusaha seringkali mempertimbangkan rendahnya produktivitas, kemampuan mobilitas, dan rendahnya pendidikan serta keterampilan untuk mempekerjakan penyandang disabilitas (Poerwanti, 2017). Hal tersebut dianggap dapat memengaruhi profit perusahaan. Meskipun pangsa pasar tenaga kerja didominasi oleh pendidikan SD dan SMP (BPS, 2019), pekerja disabilitas masih tersingkirkan dalam kompetisi pasar tenaga kerja.

Pekerja penyandang disabilitas diperlakukan perusahaan layaknya beban karena kurangnya informasi perusahaan terhadap cara untuk mempekerjakan penyandang disabilitas (Poerwanti, 2017). Akibatnya, penyandang disabilitas kehilangan kesempatan kerja di berbagai sektor. Bahkan, pekerja penyandang disabilitas perlu memiliki pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (ILO, 2017).

Faktor-faktor tersebut meningkatkan angka penyandang disabilitas yang menganggur. Pasar kerja yang kian kompetitif semakin menjauhkan penyandang disabilitas dari kesempatan kerja. Menurut ILO, penyandang disabilitas seringkali memilih untuk bekerja secara mandiri (self-employed) dengan pendapatan yang tidak menentu atau tanpa dibayar (ILO, 2017).

Hak-hak bekerja bagi penyandang disabilitas sudah diatur dalam Undang-Undang. Seperti UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan pekerjaan tanpa mengalami diskriminasi (Soedarto, 2014). Selain itu, aturan tersebut juga tertuang dalam UU Penyandang Disabilitas yang di dalamnya merinci hak-hak bagi pekerja disabilitas (Soedarto, 2014). Meskipun begitu, implementasi dan realita yang dirasakan oleh pekerja penyandang disabilitas tidak sejalan dengan yang tertuang dalam Undang-Undang. Peraturan tersebut masih rentan dilanggar oleh perusahaan.

Di Indonesia, telah diatur dalam bahwa setidaknya perusahaan pemerintahan wajib mempekerjakan pekerja penyandang disabilitas sebanyak 2%, sedangkan bagi perusahaan swasta sebanyak 1%. Peraturan tersebut tertuang pada Pasal 53 UU Penyandang Disabilitas. Namun, hal tersebut masih kontradiktif dengan realita yang ada. Menurut data Olahan Wajib Lapor Ketenagakerjaan, angka pekerja penyandang disabilitas di perusahaan pemerintahan maupun perusahaan swasta masih belum mencapai angka minimal yang telah ditentukan (Koneksi Indonesia Inklusif, 2021).

Perwujudan ruang kerja yang inklusif dan sensitif terhadap penyandang disabilitas serta praktik untuk mendorong keragaman pekerja masih menjadi tantangan yang dihadapi dalam mempekerjakan penyandang disabilitas. Dalam hal ini, pemahaman terhadap disabilitas dan pengelolaan tenaga kerja penyandang disabilitas diperlukan oleh perusahaan. Pengelolaan terhadap keragaman tenaga kerja, khususnya keberadaan penyandang disabilitas, dapat memperkuat perusahaan (Roberge, Lewicki, Hietapelto, & Abdyldaeva, 2011). Sebab,  ruang kerja inklusif dan mengusung praktik keragaman dapat memperluas sudut pandang dalam penciptaan kreativitas (Poerwanti, 2017).

Menurut Raja (2016), perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dapat membentuk paradigma baru untuk mendorong inklusi dan meningkatkan partisipasi penuh dari penyandang disabilitas. Sebab, teknologi memungkinkan pasar global untuk saling berinteraksi dengan lebih mudah dan efektif. Selain itu, perkembangan fasilitas dan fungsi teknologi yang semakin memudahkan akses terhadap teknologi, termasuk bagi penyandang disabilitas. Dampak dari perkembangan teknologi, dapat memungkinkan individu penyandang disabilitas untuk mendapatkan edukasi, mengakses informasi pekerjaan dan pelayanan pemerintah secara mandiri (Raja, 2016)

Keberadaan teknologi informasi dan komunikasi telah menggeser pasar kerja menuju digital. Menurut Migliaccio (Migliaccio, 2016), teknologi dapat meminimasi batasan-batasan sehingga dapat memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk berpartisipasi dalam pasar kerja. Penggunaan telekomunikasi yang ditawarkan berbagai perusahaan untuk menyediakan informasi mempermudah akses bagi penyandang disabilitas. Sebab, teknologi bisa dimanfaatkan untuk membuat dan mengirimkan konten dengan berbagai format yang dapat disesuaikan oleh penyandang disabilitas (Yu, Goggin, Fisher, & Li, 2019).

Selain itu, perkembangan teknologi juga menciptakan ruang baru bagi ekonomi untuk berkembang. Pekerjaan-pekerjaan baru berbasis digital bermunculan seiring dengan perkembangan teknologi. Hal ini juga disebabkan fleksibilitas yang ditawarkan teknologi. Pekerja yang memanfaatkan teknologi dapat memilih dengan bebas jenis pekerjaan maupun jam kerja. Pemanfaatan teknologi juga memungkinkan berbagai lapisan masyarakat untuk bekerja secara mandiri atau membuka usaha. Oleh karena itu, dengan menggunakan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin berkembang, penyandang disabilitas dapat lebih terbantu. Mulai dari memasuki pasar tenaga kerja, mendapatkan informasi pekerjaan, hingga bekerja secara mandiri (Mervyn, Simon, & Allen, 2014).

Meskipun begitu, keberadaan teknologi bagi penyandang disabilitas juga menciptakan paradoks. Mengacu kepada pemanfaatan teknologi untuk mendorong inklusi dan partisipasi dalam pasar tenaga kerja serta memberdayakan penyandang disabilitas; namun akses terhadap teknologi masih belum merata. Menurut data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2018, penyandang disabilitas yang memiliki akses terhadap teknologi hanya 34,89%, sedangkan hanya 8,5% yang memiliki akses terhadap internet (Hastuti et al., 2020). Alhasil, penyandang disabilitas yang tidak terpapar akses terhadap teknologi masih mengalami kesulitan untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja digital. Hal ini berkaitan dengan kemampuan penggunaan teknologi digital, kondisi sosial ekonomi dan disabilitas yang dimiliki (Yu et al., 2019).

Oleh karena itu, inklusi digital bagi penyandang digital untuk meruntuhkan batasan-batasan yang menghalangi partisipasi mereka perlu diwujudkan. Inklusi digital dapat menjadi awal bagi terciptanya inklusi dan kesetaraan sosial (Reisdorf & Rhinesmith, 2020). Teknologi dianggap dapat menjadi platform yang tepat untuk memberdayakan penyandang disabilitas, menjadi alat bagi pengubah kehidupan dan menciptakan kesempatan-kesempatan baru bagi mereka. Berbagai usaha seperti pelatihan kemampuan digital telah dilakukan. Selain itu, kebijakan pemerintah dalam mendukung inklusi digital dengan penciptaan infrastruktur dapat menjadi solusi bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja (Li, Fisher, Farrant, & Cheng, 2020).

Dilansir dari laman Kementerian Komunikasi dan Informasi, pemerintah telah mengupayakan adanya inklusi digital di Indonesia. Berbagai program seperti sosialisasi literasi digital dan pengelolaan layanan publik menuju digital telah digarap pemerintah. Selanjutnya, pemerintah juga tengah memfokuskan komunikasi publik untuk mewujudkan inklusi digital bagi penyandang disabilitas (Kominfo, 2021).

Normalisasi dan pengarusutamaan disabilitas memiliki urgensi yang besar. Kesejahteraan penyandang disabilitas tidak terlepas dari akses mereka untuk dapat hidup secara mandiri. Salah satunya, adalah dengan menciptakan dunia kerja yang inklusif bagi penyandang disabilitas sehingga mencapai kesejahteraan yang adil.

Referensi

BPS. (2019). Keadaan Pekerja di Indonesia 2019.

Halimatussadiah, A., Agriva, M., & Nuryakin, C. (2013). Persons with Disabilities (PWD) and Labor Force in Indonesia : A Preliminary Study. LPEM-FEUI Working Paper, (Susenas 2012), 1–14. Retrieved from https://www.lpem.org/wp-content/uploads/2015/06/WP-LPEM_03_Alin.pdf

Hastuti, Dewi, R. K., Pramana, R. P., & Sadaly, H. (2020). Kendala Mewujudkan Pembangunan Inklusif terhadap Penyandang Disabilitas. Retrieved from https://www.smeru.or.id/sites/default/files/publication/disabilitaswp_id_0.pdf

ILO. (2017). Final Report-Mapping: Persons with Disabilities (PWD) in Indonesia Labor Market. Retrieved from http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—asia/—ro-bangkok/—ilo-jakarta/documents/publication/wcms_587669.pdf

KOMINFO, P. (2021). Implementasikan Inklusi Digital untuk seluruh Masyarakat. Retrieved 31 March 2021, from https://www.kominfo.go.id/content/detail/33042/implementasikan-inklusi-digital-untuk-seluruh-masyarakat/0/berita_satker

Li, B., Fisher, K. R., Farrant, F. Q., & Cheng, Z. (2020). Digital policy to disability employment? An ecosystem perspective on China and Australia. Social Policy and Administration, (September), 1–16. https://doi.org/10.1111/spol.12666

Mervyn, K., Simon, A., & Allen, D. K. (2014). Digital inclusion and social inclusion: a tale of two cities. Information Communication and Society, 17(9), 1086–1104. https://doi.org/10.1080/1369118X.2013.877952

Migliaccio, G. (2016). ICT for disability management in the net economy. International Journal of Globalisation and Small Business, 8(1), 51–72. https://doi.org/10.1504/IJGSB.2016.076452

Koneksi Indonesia Inklusif. (2021). Ketenagakerjaan Inklusif.

Poerwanti, S. D. (2017). Pengelolaan Tenaga Kerja Difabel untuk Mewujudkan Workplace Inclusion. Inklusi, 4(1), 1. https://doi.org/10.14421/ijds.040101

Raja, D. S. (2016). Bridging the disability divide through digital technologies. World Development Report, 1–37. Retrieved from http://www.worldbank.org/en/publication/wdr2016.%0Ahttp://pubdocs.worldbank.org/pubdocs/publicdoc/2016/4/123481461249337484/WDR16-BP-Bridging-the-Disability-Divide-through-Digital-Technology-RAJA.pdf

Reisdorf, B., & Rhinesmith, C. (2020). Digital inclusion as a core component of social inclusion. Social Inclusion, 8(2), 132–137. https://doi.org/10.17645/si.v8i2.3184

Roberge, M.-E., Lewicki, R. J., Hietapelto, A., & Abdyldaeva, A. (2011). From Theory To Practice: Recommending Supportive Diversity Practices. Journal of Diversity Management (JDM), 6(2), 1–20. https://doi.org/10.19030/jdm.v6i2.5481

Soedarto, J. P. (2014). Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Penyandang Disabilitas Di Indonesia. Masalah-Masalah Hukum, 43(4), 468–477. https://doi.org/10.14710/mmh.43.4.2014.468-477

World Health Organization. (2011). Summary World Report On Disability. World Health, 1–24. Retrieved from www.who.int/about/licensing/copyright_form/en/index.html%0Ahttp://www.larchetoronto.org/wordpress/wp-content/uploads/2012/01/launch-of-World-Report-on-Disability-Jan-27-121.pdf

Yu, H., Goggin, G., Fisher, K., & Li, B. (2019). Introduction: disability participation in the digital economy. Information Communication and Society, 22(4), 467–473. https://doi.org/10.1080/1369118X.2018.1550525

Salsabella Adista Trisnu Pramesti
+ posts
Nadya Noor Azalia
+ posts

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *